PERKEMBANGAN PENGARUH BARAT DAN PERUBAHAN EKONOMI, DEMOGRAFI DAN
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI INDONESIA PADA MASA KOLONIAL
1. LATAR BELAKANG KEDATANGAN ORANG – ORANG EROPA
KE DUNIA TIMUR
1. Renaissance
Renaissance berasal dari bahasa Prancis, Renascari yaitu kelahiran
kembali kebudayaan klasik dari jaman Romawi dan Yunani kuno yang
meliputi kesusasteraan, seni dan ilmu pengetahuan. Gerakan ini
dipelopori oleh Dante Aligheiri, Petrarca dan Boccacio.
Timbulnya gerakan ini disebabkan oleh :
1. Terjadinya pertumbuhan perdagangan di kota Venesia, Florence dan Geno (Italia)
1. Adanya puing-puing bangunan lama yang megah dan mengagumkan di kota Roma dan kota-kota lainnya
1. Perkembangan ekonomi Italia lebih maju dari Negara Eropa lainnya
2. Bangsawan Italia tidak tinggal di pedalaman tapi di kota-kota
1. Penjelajahan samudera dan Penemuan daerah baru
Awal abad ke 16 bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Negara Eropa
lainnya mengadakan penjelajahan samudera karena didorong oleh
factor-faktor :
a. Tahun 1453 kota Konstantinopel jatuh ke tangan Turki yang mengakibatkan harga rempah-rempah menjadi sangat mahal
1. Berkembangnya Ilmu pengetahuan tentang bumi dan ilmu astronomi dan penemuan kompas
1. Timbulnya keinginan untuk mencari keuntungan yang besar dan upaya untuk mencari daerah baru
1. Ingin menyebarkan agama Kristen ke seluruh dunia
1. Adanya Penemuan baru di bidang ilmu Pengetahuan
a. Johan Guttenberg menemukan mesin cetak
b. Nicolaus Copernicus menemukan matahari sebagai pusat tata surya
c. Galileo galilei menemukan teleskop
d. Marthin Luther pencetus agama kristen Protestan
1. Dominasi gereja katolik terhadap segala aspek kehidupan
PAHAM RASIONALISME, REVOLUSI INDUSTRI, DAN KAPITALISME SERTA PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT DI INDONESIA
1. Paham Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham yang menganggap sesuatu itu dianggap benar
jika sesuai dengan akal pikiran. Tempat kelahiran rasionalisme adalah
Prancis (Renne Descartes 1596-1650). Ia adalah seorang filosof,ilmuwan
dan matematikus Prancis yang tersohor. Sebenarnya, rasionalisme
merupakan kelanjutan dari perlawanan terhadap ajaran-ajaran yang
bersifat dogmatis dan taradisi yang mulai tampak pada abad ke-15 dan
abad ke-16.
2. Merkantilisme
Istilah Merkantilisme diambil dari kata ”Mercari” yang artinya berjual
beli. Merkantilisme adalah sebuah sistem ekonomi di mana negara memiliki
wewenang yang besar, atau disebut juga sebagai sistem ekonomi proteksi.
Kemakmuran diperoleh dari perdagangan luar negeri.
Tujuan dari merkantilisme adalah untuk melindungi perkembangan industri
perdagangan dan melindungi kekayaan negara yang ada di masing-masing
negara. Negara atau pemerintah memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya
untuk membiayai negara; negara atau pemerintah merupakan satu-satunya
penguasa ekonomi. Cara yang digunakan dalam rangka memperkaya Negara
adalah dengan penumpukan kekayaan yang berupa logam mulia yaitu emas dan
perak. Negara yang banyak memiliki timbunan logam mulia dalam jumlah
yang besar merupakan negeri yang kaya, dan mempunyai kemampuan untuk
mengembangkan kekuatannya sehingga dapat memperkuat armada perangnya.
3. Revolusi Industri
Revolusi Industri adalah perubahan radikal dalam cara pembuatan atau
memproduksi barang-barang dengan menggunakan mesin-mesin, baik untuk
tenaga penggerak maupun untuk tenaga pemproses. Dengan digunakannya
mesin-mesinmenjadikan tenaga manusia tidak terpakai lagi, sehingga
terjadi peningkatan kualitas
dan kuantitas produksi barang, termasuk perubahan dalam cara kerja dan
pemasarannya.
4. Kapitalisme
Kapitalisme adalah system dan paham ekonomi yang modalnya ( penanaman
modal dan kegiatan industrinya ) bersumber pada modal pribadi atau modal
perusahaan swasta guna bersaing bebas di pasaran internasional,
nasional maupun lokal. Kapitalisme merupakan respon terhadap
merkantilisme yang menempatkan Negara sebagai pemilik kekayaan Negara.
Kapitalisme menempatkan individu sebagai pemilik modal yang menguasai
kekayaan alam.
C. MASUKNYA KOLONIALISME DAN IMPERIALISME ASING KE WILAYAH
INDONESIA : PORTUGIS, SPANYOL, VOC-BELANDA DAN INGGRIS
1. MASA KEKUASAAN VOC
Usaha bangsa Barat untuk mendapatkan benua baru dipelopori oleh bangsa
Portugis dan Spanyol yang ingin mendapatkan rempah-rempah. Bartholomeu
Dias (1492) dan Vasco daGama (1498) berkebangsaan Portugis berlayar
menyusuri pantai barat Benua Afrika akhirnyatiba di Kalkuta, India.
Kemudian mereka membangun kantor dagang di Kalkuta dan berdagang di Asia
Tenggara. Pada tahun 1512, Portugis masuk ke Maluku sedangkan Spanyol
masuk ke Tidore (1521) untuk mencari rempah-rempah.
Pada tahun 1596, pedagang Belanda dengan empat buah kapal di bawah
Cornelis de Houtman berlabuh di Banten. Mereka mencari rempah-rempah di
sana dan daerah sekitarnya untuk diperdagangkan di Eropa. Namun, karena
kekerasan dan kurang menghormati rakyat maka diusir dari Banten.
Kemudian pada tahun 1598, pedagang Belanda datang kembali ke Indonesia
di bawah Van Verre dengan delapan kapal dipimpin Van Neck, Jacob van
Heemkerck datang di Banten dan diterima Sultan Banten
Abdulmufakir dengan baik. Sejak saat itulah ada hubungan perdagangan dengan pihak
Belanda sehingga berkembang pesat perdagangan Belanda di Indonesia.
Namun, tujuan dagang tersebut kemudian berubah. Belanda ingin berkuasa
sebagai penjajah yang kejam dan sewenang-wenang, melakukan monopoli
perdagangan, imperialisme ekonomi, dan perluasan kekuasaan.
Setelah bangsa Belanda berhasil menanamkan kekuasaan perdagangan dan
ekonomi di Indonesia maka pada tanggal 20 Maret 1602 Belanda membentuk
kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang dianjurkan
oleh Johan van Olden Barnevelt yang mendapat izin dan hak istimewa dari
Raja Belanda. Alasan pendirian VOC adalah adanya persaingan di antara
pedagang Belandasendiri, adanya ancaman dari komisi dagang lain, seperti
(EIC) Inggris, dan dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah di
Indonesia. Untuk mendapatkan keleluasaan usaha di Indonesia, VOC
memiliki hak oktroi, yaitu hak istimewa.
Di samping itu, VOC juga melakukan pelayaran Hongi, yakni misi pelayaran
Belanda yang ditugasi mengawasi, menangkap, dan mengambil tindakan
terhadap para pedagang dan penduduk pribumi yang dianggapnya melanggar
ketentuan perdagangan Belanda. Usaha VOC semakin berkembang pesat (1623)
dan berhasil menguasai rempah-
rempah di Ambon dalam peristiwa Ambon Massacre. Selanjutnya tahun 1641,
VOC berhasil merebut Malaka dari tangan Portugis. VOC selalu menggunakan
Batigslot Politiek (politik mencari untung, 1602 – 1799) dengan
memegang monopoli Belanda di Indonesia. Selain itu, VOC menjalankan
politik devide et impera, yakni sistem pemecah belah di antara rakyat
Indonesia.
Perjalanan kongsi dagang VOC lama kelamaan mengalami kemunduran, bahkan
VOC runtuh pada tanggal 31 Desember 1799. Kemunduran VOC disebabkan hal-hal berikut.
a. Perang-perang yang dilakukan membutuhkan biaya yang besar padahal hasil dari bumi
Indonesia telah terkuras habis dan kekayaan Indonesia sudah telanjur terkirim ke
Negeri Belanda. VOC tidak kuat lagi membiayai perang-perang tersebut.
b.Kekayaan menyebabkan para pegawai VOC melupakan tugas, kewajiban, dan tanggung
jawab mereka terhadap pemerintah dan masyarakat.
c.Terjadinya jual beli jabatan.
d.Tumbuhnya tuan-tuan tanah partikelir.
e.Kekurangan biaya tersebut tidak dapat ditutup dengan hasil penjualan tanah saja, VOC
harus juga mencari pinjaman. Akibatnya, utang VOC semakin besar.
f.Pada akhir abad ke-18, VOC tidak mampu lagi memerangi pedagang-pedagang Eropa
lainnya (Inggris, Prancis, Jerman) yang dengan leluasa berdagang di Nusantara
sehingga monopoli VOC hancur.
Keberadaan VOC sudah tidak dapat dipertahankan lagi sehingga harta milik dan
utang-utangnya diambil alih oleh pemerintah negeri Belanda. Pemerintah
kemudian membentuk Komisi Nederburg untuk mengurusinya, termasuk
mengurusi wilayah VOC di Indonesia (1800 – 1907).
2. MASA KEKUASAAN BELANDA (PRANCIS)
Tahun 1807 – 1811, Indonesia dikuasai oleh Republik Bataaf bentukan
Napoleon Bonaparte, penguasa di Prancis (Belanda menjadi jajahan
Prancis). Napoleon Bonaparte mengangkat Louis Napoleon menjadi wali
negeri Belanda dan negeri Belanda diganti namanya menjadi Konikrijk
Holland. Untuk mengurusi Indonesia, Napoleon mengangkat Herman Willem
Daendels menjadi gubernur jenderal di Indonesia (1808 – 1811). Tugas
utama Daendels adalah mempertahankan Jawa dari serangan Inggris sehingga
pusat perhatian Daendels ditujukan kepada pertahanan dan keamanan.
Untuk memperoleh dana, Daendels menjual tanah-tanah kepada orang-orang
swasta. Akibatnya, tanah-tanah partikelir mulai bermunculan di sekitar
Batavia, Bogor, Indramayu, Pamanukan, Besuki, dan sebagainya. Bahkan,
rumahnya sendiri di Bogor dijual kepada pemerintah, tetapi rumah itu
tetap ditempatinya sebagai rumah tinggalnya. Tindakan dan kekejaman
Daendels tersebut menyebabkan raja-raja Banten dan Mataram memusuhinya.
Untuk menutup utang-utang Belanda dan biaya-biaya pembaharuan tersebut,
Daendels kembali menjual tanah negara beserta isinya kepada swasta,
sehingga timbullah system tuan tanah di Jawa yang bertindak sebagai raja
daerah, misalnya di sekitar Batavia dan Probolinggo. Kekejaman Daendels
tersebut terdengar sampai ke Prancis. Akhirnya, dia dipanggil pulang
karena dianggap memerintah secara autokrasi dan Indonesia diperintah
oleh Jansens.
3. MASA KEKUASAAN INGGRIS
Keberhasilan Inggris mengalahkan Prancis di Eropa menyebabkan kekuasaan
Belanda atas Indonesia bergeser ke tangan Inggris. Untuk itulah
ditandatangani Kapitulasi Tuntang (1811) yang isinya Belanda menyerahkan
Indonesia ke tangan Inggris dari tangan Jansens kepada Thomas Stamford
Raffles, seorang Letnan Gubernur Jenderal Inggris untuk Indonesia. Oleh
karena itu, beralihlah Indonesia dari tangan Belanda ke tangan Inggris.
Adapun langkah-langkah yang diambil Raffles adalah
a. membagi Pulau Jawa menjadi 16 karesidenan,
b. para bupati dijadikan pegawai negeri,
c. melaksanakan perdagangan bebas,
d. melaksanakan land rente (pajak sewa tanah) dan Raffles menjual tanah kepada swasta,
e. menghapuskan perbudakan, dan
f. kekuasaan para raja dikurangi. Di Yogyakarta, Pangeran Notokusumo
diangkat sebagai Paku Alam (1813). Akibatnya, Mataram Yogyakarta pecah
menjadi dua, yakni Kasultanan Yogyakarta di bawah HB III dan Paku Alaman
di bawah Paku Alam I.
Pada tanggal 13 Agustus 1814, di Eropa ditandatangani Perjanjian London oleh
Inggris dan Belanda yang isinya Belanda memperoleh kembali sebagian besar daerah
koloninya, termasuk Indonesia. Oleh karena itu pada tahun 1816, Raffles meninggalkan
Indonesia dan Belanda kembali berkuasa di Indonesia.
4. MASA KEKUASAAN PEMERINTAH BELANDA
Pada tahun 1830, pemerintah Belanda mengangkat gubernur jenderal yang
baru untuk Indonesia, yaitu Van den Bosch, yang diserahi tugas untuk
meningkatkan produksi tanaman ekspor, seperti tebu, teh, tembakau,
merica, kopi, kapas, dan kayu manis. Dalam
hal ini, Van den Bosch mengusulkan adanya sistem tanam paksa. Adapun
hal-hal yang mendorong Van den Bosch melaksanakan tanam paksa, antara
lain, Belanda membutuhkan banyak dana untuk membiayai peperangan, baik
di negeri Belanda sendiri maupun di Indonesia. Akibatnya, kas negara
Belanda kosong. Sementara itu, di Eropa terjadi perang Belanda melawan
Belgia (1830 – 1839) yang juga menelan banyak biaya.
Tujuan diadakannya tanam paksa adalah untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya, guna menutupi kekosongan kas negara dan untuk membayar
utang utang negara.
Pelaksanaan tanam paksa diselewengkan oleh Belanda dan para petugasnya
yang berakibat membawa kesengsaraan rakyat Bentuk penyelewengan tersebut
misalnya, kerja tanpa dibayar untuk kepentingan Belanda (kerja rodi)
kekejaman para mandor terhadap para penduduk, dan eksploitasi kekayaan
Indonesia yang dilakukan Belanda.
Melihat penderitaan rakyat Indonesia, kaum humanis Belanda menuntut agar
tanam paksa dihapuskan. Tanam paksa mengharuskan rakyat bekerja berat
selama musim tanam. Penderitaan rakyat bertambah berat dengan adanya
kerja rodi membangun jalan raya, jembatan, dan waduk. Selain itu, rakyat
masih dibebani pajak yang berat,sehingga sebagian besar penghasilan
rakyat habis untuk membayar pajak. Sementara itu di pihak Belanda, tanam
paksa membawa keuntungan yang besar.
Praktik tanam paksa mampu menutup kas negara Belanda yang kosong sekaligus
membayar utang-utang akibat banyak perang. Akhirnya, tanam paksa
dihapuskan, diawali dengan dikeluarkannya undang-undang (Regrering
Reglement) pada tahun 1854
tentang penghapusan perbudakan. Tanam paksa benar-benar dihapuskan pada
tahun 1917. Sebagai bukti, kewajiban tanam kopi di Priangan, Manado,
Tapanuli, dan Sumatra Barat dihapuskan.
Setelah tanam paksa dihapuskan, pemerintah Belanda melaksanakan politik
kolonial liberal di Indonesia dengan memberikan kebebasan pada pengusaha
swasta untuk menanamkan modal di Indonesia. Namun, pelaksanaannya tetap
menyengsarakan rakyat karena kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan
semata-mata untuk kepentingan kolonial Belanda. Belanda tetap
melaksanakan cara-cara menguasai bangsa Indonesia dengan perjanjian,
perang, dan pemecah belah.
Pelaksanaan politik kolonial liberal ternyata banyak mendatangkan
penderitaan bagi rakyat terutama buruh sebab upah yang mereka terima
tidak seperti yang tertera dalam kontrak. Akibatnya, banyak buruh yang
melarikan diri, terutama dari Deli, Sumatra Utara. Dari kenyataan di
atas jelas Belanda tetap masih melaksanakan usaha menindas bangsa
Indonesia.
D. PERLAWANAN RAKYAT DI BERBAGAI DAERAH DALAM MENENTANG
KOLONIALISME
1.Perlawanan Rakyat Maluku di Bawah Ahmad Matullesi (1817)
Sejak abad ke-17 perlawanan rakyat Maluku terhadap Kompeni sudah
terjadi, namun perlawanan yang dahsyat baru muncul pada permulaan abad
ke-19, di bawah pimpinan Ahmad Matulessi (lebih dikenal dengan nama
Pattimura).
Latar belakang timbulnya perlawanan Pattimura, di samping adanya
tekanan-tekanan yang berat di bidang ekonomi sejak kekuasaan VOC juga
dikarenakan hal sebagai berikut.
a. , yakni adanya tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang memperberat
kehidupan rakyat, seperti system penyerahan secara paksa, kewajiban
kerja blandong, penyerahan atap dan gaba-gaba, penyerahan ikan asin,
dendeng dan kopi. Selain itu, beredarnya uang kertas yang menyebabkan
rakyat Maluku tidak dapat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari
karena belum terbiasa.
b. , yaitu adanya pemecatan guru-guru sekolah akibat pengurangan sekolah
dan gereja, serta pengiriman orang-orang Maluku untuk dinas militer ke
Batavia. Hal-hal tersebut di atas merupakan tindakan penindasan
pemerintah Belanda terhadap rakyat Maluku. Oleh karena itu, rakyat
Maluku bangkit dan berjuang melawan imperialisme Belanda. Aksi
perlawanan meletus pada tanggal 15 Mei 1817 dengan menyerang Benteng
Duurstede di Saparua. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya
Benteng Duurstede jatuh ke tangan rakyat Maluku di bawah pimpinan
Pattimura. Banyak korban di pihak Belanda termasuk Residen Belanda, Van
den Berg ikut terbunuh dalam pertempuran.
Kemenangan atas pemerintah kolonial Belanda memperbesar semangat
perlawanan rakyat sehingga perlawanan meluas ke Ambon, Seram dan
pulau-pulau lain. Di Hitu perlawanan rakyat muncul pada permulaan bulan
Juni 1817 di bawah pimpinan Ulupaha. Rakyat Haruku di bawah pimpinan
Kapten Lucas Selano, Aron dan Patti Saba. Situasi pertempuran berbalik
setelah datangnya bala bantuan dari Batavia di bawah pimpinan Buyskes.
Pasukan Belanda terus mengadakan penggempuran dan berhasil menguasai
kembali daerah-daerah Maluku. Perlawanan semakin mereda setelah banyak
para pemimpin tertawan, seperti Thomas Matulessi (Pattimura), Anthonie
Rhebok, Thomas Pattiweal, Lucas Latumahina, dan Johanes Matulessi. Dalam
perlawanan ini juga muncul tokoh wanita yakni Christina Martha Tiahahu.
Sebagai pahlawan rakyat yang tertindas oleh penjajah. Tepat pada
tanggal 16 Desember 1817, Thomas Matulessi dan kawan-kawan
seperjuangannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan.
2.Perlawanan Kaum Paderi (1821–1838 )
Perang Paderi melawan Belanda berlangsung 1821–1838, tetapi gerakan
Paderi sendiri sudah ada sejak awal abad ke-19. Di lihat dari
sasarannya, gerakan Paderi dapat dibagi menjadi dua periode.
a. Periode 1803–1821 adalah masa perang Paderi melawan Adat dengan corak keagamaan.
b. Periode 1821–1838 adalah masa perang Paderi melawan Belanda dengan corak keaga-
maan dan patriotisme.
Sejak tahun 1821 saat kembalinya tiga orang haji dari Mekkah, yaitu Haji
Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang, gerakan Paderi melawan kaum Adat
dimulai. Kaum Paderi berkeinginan memperbaiki masyarakat Minangkabau
dengan mengembalikan kehidupannya yang sesuai dengan ajaran Islam yang
sebenarnya. Padahal kaum Adat justru ingin melestarikan adat istiadat
warisan leluhur mereka.
Adat yang selama itu dianut dan yang menjadi sasaran gerakan Paderi
adalah kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti menyabung ayam, berjudi,
madat, dan minum-minuman keras. Terjadilan perbenturan antara kaum Adat
dengan kaum Paderi. Kaum Adat yang merasa terdesak, kemudian minta
bantuan kepada pihak ketiga, yang semula Inggris kemudian digantikan
oleh Belanda (berdasarkan Konvensi London).
Perang Paderi melawan Belanda meletus ketika Belanda mengerahkan
pasukannya menduduki Semawang pada tanggal 18 Februari 1821. Masa Perang
Paderi melawan Belanda dapat dibagi menjadi tiga periode.
a. Periode 1821–1825, ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh
daerah Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, kaum Paderi
menggempur pos-pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan
tempat-tempat lain. Pertempuran menimbulkan banyak korban di kedua
belah pihak. Tuanku Pasaman kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau.
Sebaliknya, Belanda yang telah berhasil menguasai Lembah Tanah Datar,
kemudian mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar (Fort Van den
Capellen).
b. Periode 1825–1830, ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum Paderi
perlu menyusun kekuatan, sedangkan pihak Belanda baru memusatkan
perhatiannya menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa.
c. Periode 1830–1838, ditandai dengan perlawanan di kedua belah yang
makin menghebat. Pemimpin di pihak Belanda, antara lain Letkol A.F.
Raaff, Kolonel de Stuer, Mac. Gillavry dan Elout, sedangkan di pihak
Paderi ialah Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku nan Gapuk,
Tuanku Hitam, Tuanku Nan Cerdik dan Tuanku Tambusi.
Pada tahun 1833, Belanda mengeluarkan Pelakat Panjang yang isinya, antara lain sebagai berikut.
a.Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak yang berat dan kerja rodi.
b.Belanda akan bertindak sebagai penengah jika terjadi perselisihan antar penduduk.
c.Penduduk boleh mengatur pemerintahan sendiri.
d.Hubungan dagang hanya diperbolehkan dengan Belanda.
Belanda menjalankan siasat pengepungan mulai masuk tahun 1837 terhadap
Benteng Bonjol. Akhirnya, Benteng Bonjol berhasil dilumpuhkan oleh
Belanda. Selanjutnya, Belanda mengajak berunding kaum Paderi yang
berujung pada penangkapan Tuanku Imam Bonjol (25 Oktober 1837). Setelah
ditahan, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, dipindahkan ke Ambon
(1839), dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado hingga wafat tanggal 6
November 1864.Perlawanan kaum Paderi kemudian dilanjutkan oleh Tuanku
Tambusi. Setelah Imam Bonjol tertangkap, akhirnya seluruh Sumatra Barat
jatuh ke tangan Belanda. Itu berarti seluruh perlawanan dari kaum Paderi
berhasil dipatahkan oleh Belanda.
3.Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825–1830)
Pengaruh Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah kuat pada
permulaan abad ke-19. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda
telah menimbulkan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian
menimbulkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara lain sebagai berikut.
a.Adanya kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap tindakan
Belanda yang makin intensif mencampuri urusan keraton melalui Patih
Danurejo (kaki tangan Belanda).
b.Adanya kebencian rakyat pada umumnya dan para petani khususnya akibat tekanan pajak yang sangat memberatkan.
c.Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak-haknya banyak yang dikurangi.
d.Sebagai sebab khususnya ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Pertempuran perrtama meletus pada tanggal 20 Juli 1825 di Tegalrejo.
Setelah pertempuran di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya
menyingkir ke Dekso. Di daerah Plered, pasukan Diponegoro dipimpin oleh
Kertapengalasan yang memiliki kemampuan yang cukup kuat. Kabar mengenai
pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke berbagai daerah. Dengan
dikumandangkannya perang sabil, di Surakarta oleh Kiai Mojo, di Kedu
oleh Kiai Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain maka pada
pertempuran-pertempuran tahun 1825–1826 pasukan Belanda banyak terpukul
dan terdesak.
Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda menggunakan usaha dan tipu daya untuk mematahkan perlawanan, antara lain sebagai berikut.
a.Siasat benteng stelsel, yang dilakukan oleh Jenderal de Kock mulai tahun 1827.
b.Siasat bujukan agar perlawanan menjadi reda.
c.Siasat pemberian hadiah sebesar 20.000,- ringgit kepada siapa saja yang dapat menang-
kap Pangeran Diponegoro.
d.Siasat tipu muslihat, yaitu ajakan berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya ditangkap.
Dengan berbagai tipu daya, akhirnya satu per satu pemimpin perlawanan
tertangkap dan menyerah, antara lain Pangeran Suryamataram dan Ario
Prangwadono (tertangkap 19 Januari 1827), Pangeran Serang, dan
Notoprodjo (menyerah 21 Juni 1827, Pangeran Mangkubumi (menyerah 27
September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah tanggal 24
Oktober 1829). Kesemuanya itu merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran
Diponegoro.
Melihat situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perang
secara cepat. Jenderal de Kock melakukan tipu muslihat dengan mengajak
berunding Pangeran Diponegoro. De Kock berjanji apabila perundingan
gagal maka Diponegoro diperbolehkan kembali ke pertahanan. Atas dasar
janji tersebut, Diponegoro mau berunding di rumah Residen Kedu, Magelang
pada tanggal 28 Maret 1830. Namun, De Kock ingkar janji sehingga
Pangeran Diponegoro ditangkap ketika perundingan mengalami kegagalan.
Pangeran Diponegoro kemudian di bawa ke Batavia, dipindahkan ke Menado,
dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya pada tanggal
8 Januari 1855.
4Perlawanan di Kalimantan Selatan (1859–1905)
Di Kalimantan Selatan, Belanda telah lama melakukan campur tangan dalam
urusan Istana Banjar. Puncak kebencian terhadap Belanda dan akhirnya
meletus menjadi perlawanan, ketika terjadi kericuan pergantian takhta
Kerajaan Banjar setelah wafatnya Sultan Adam tahun 1857. Dalam hal ini
Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar.
Rakyat tidak mau menerima sebab Pangeran Hidayat yang lebih berhak dan
lebih disenangi rakyat. Pertempuran rakyat Banjar melawan Belanda
berkobar pada tahun 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Dalam
pertempuran ini Pangeran Hidayat berada di pihak rakyat. Tokoh-tokoh
lain dalam pertempuran ini, antara lain Kiai Demang Leman, Haji Nasrun,
Haji Buyasin, Tumenggung Suropati, dan Kiai Langlang. Pasukan Antasari
menyerbu pos-pos Belanda yang ada di Martapura dan Pangron pada akhir
April 1859. Di bawah pimpinan Kiai Demang Leman dan Haji Buyasin pada
bulan Agustus 1859 pasukan Banjar berhasil merebut benteng Belanda di
Tabanio. Ketika pertempuran sedang berlangsung, Belanda memecat Pangeran
Hidayat sebagai mangkubumi karena menolak untuk menghentikan
perlawanan.
Pada tanggal 11 Juni 1860 jabatan sultan kosong (karena Sultan
Tamjidillah diturunkan dari takhtanya oleh pihak Belanda, Andresen) dan
jabatan mang-kubumi dihapuskan. Dengan demikian, Kerajaan Banjar
dihapuskan dan dimasukkan dalam wilayah kekuasaan Belanda. Pertempuran
terus meluas ke berbagai daerah, seperti Tanah Laut, Barito, Hulu Sungai
Kapuas, dan Kahayan. Dalam menghadapi serangan-serangan ini, Belanda
mengalami kesulitan, namun setelah mendapatkan bantuan dari luar
akhirnya Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat. Pada tanggal 3
Februari 1862, Pangeran Hidayat tertangkap dan dibuang ke Jawa. Pangeran
Antasari yang pada tanggal 14 Maret 1862 diangkat oleh rakyat sebagai
pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar Panembahan Amiruddin
Khalifahtul Mukminin gugur dalam pertempuran di Hulu Teweh pada tanggal
11 Oktober 1862. Sepeninggal Pangeran Antasari, perjuangan rakyat Banjar
dilanjutkan oleh teman-teman seperjuangan. Perlawanan rakyat
benar-benar dapat dikatakan padam setelah gugurnya Gusti Matseman tahun
1905.
5Perlawanan di Bali (1846–1905)
Di Bali timbulnya perlawanan rakyat melawan Belanda, setelah Belanda
berulang kali memaksakan kehendaknya untuk menghapuskan hak tawan
karang. Hak tawan karang yakni hak bagi kerajaan-kerajaan Bali untuk
merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaan kerajaan yang
bersangkutan. Telah berulang kali kapal Belanda hendak dirampas, namun
Belanda memprotes dan mengadakan perjanjian sehingga terbebas. Raja-raja
Bali yang pernah diajak berunding ialah Raja Klungklung dan Raja Badung
(1841); Raja Buleleng dan Raja Karangasem (1843). Akan tetapi,
kesemuanya tidak diindahkan sehingga Belanda memutuskan untuk
menggunakan kekerasan dalam usaha menundukkan Bali.
Dalam menghadapi perlawanan rakyat Bali, pihak Belanda terpaksa
mengerahkan ekspedisi militer secara besar-besaran sebanyak tiga kali.
Ekspedisi pertama (1846) dengan kekuatan 1.700 orang pasukan dan gagal
dalam usaha menundukkan rakyat Bali. Ekspedisi kedua (1848) dengan
kekuatan yang lebih besar dari yang pertama dan disambut dengan
perlawanan oleh I Gusti Ktut Jelentik, yang telah mempersiapkan
pasukannya di Benteng Jagaraga sehingga dikenal dengan Perang Jagaraga
I. Ekspedisi Belanda ini pun juga berhasil digagalkan.
Kekalahan ekspedisi Belanda baik yang pertama maupun yang kedua,
menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mengirimkan ekspedisi ketiga
(1849) dengan kekuatan yang lebih besar lagi yakni 4.177 orang pasukan,
kemudian menimbulkan Perang Jagaraga II. Perang berlangsung selama dua
hari dua malam (tanggal 15 dan 16 April 1849) dan menunjukkan semangat
perjuangan rakyat Bali yang heroik dalam mengusir penjajahan Belanda.
Dalam pertempuran ini, pihak Belanda mengerahkan pasukan darat dan laut
yang terbagi dalam tiga kolone. Kolone 1 di bawah pimpinan Van Swieten;
kolone 2 dipercayakan kepada La Bron de Vexela, dan kolone 3 dipimpin
oleh Poland. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya Benteng
Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Prajurit Bali dan para pemimpin mereka
termasuk I Gusti Jelantik, berhasil meloloskan diri.
Perlawanan rakyat Bali tidaklah padam. Pada tahun 1858, I Nyoman Gempol
mengangkat senjata melawan Belanda, namun berhasil dipukul mundur.
Selanjutnya, tahun 1868 terjadi lagi perlawanan di bawah pimpinan Ida
Made Rai, ini pun juga mengalami kegagalan. Perlawanan masih terus
berlanjut dan baru pada awal abad ke-20 (1905), seluruh Bali berada di
bawah kekuasaan Belanda.
6.Perlawanan di Aceh (1873–1904)
a.Latar Belakang Perlawanan
Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan.
Aceh banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh
karena itu, Belanda berambisi untuk mendudukinya. Sebaliknya,
orang-orang Aceh tetap ingin mempertahankan kedaulatannya. Sampai dengan
tahun 1871, Aceh masih mempunyai kebebasan sebagai kerajaan yang
merdeka. Situasi ini mulai berubah dengan adanya Traktrat Sumatra (yang
ditandatangani Inggris dengan Belanda pada tanggal 2 November 1871). Isi
dari Traktrat Sumatra 1871 itu adalah pemberian kebebasan bagi Belanda
untuk memperluas daerah kekuasaan di Sumatra, termasuk Aceh. Dengan
demikian, Traktrat Sumatra 1871 jelas merupakan ancaman bagi Aceh.
Karena itu Aceh berusaha untuk memperkuat diri, yakni mengadakan
hubungan dengan Turki, Konsul Italia, bahkan dengan Konsul Amerika
Serikat di Singapura. Tindakan Aceh ini sangat mengkhawatirkan pihak
Belanda karena Belanda tidak ingin adanya campur tangan dari luar.
Belanda memberikan ultimatum, namun Aceh tidak menghiraukannya.
Selanjutnya, pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda memaklumkan perang
kepada Aceh.
b.Jalannya Perlawanan
Sebelum terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan-persiapan.
Sekitar 3.000 orang dipersiapkan di sepanjang pantai dan sekitar 4.000
orang pasukan disiapkan di lingkungan istana. Pada tanggal 5 April 1873,
pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler
melakukan penyerangan terhadap Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Pada
tanggal 14 April 1873, Masjid Raya Aceh dapat diduduki oleh pihak
Belanda dengan disertai pengorbanan besar, yakni tewasnya Mayor Jenderal
Kohler.
Setelah Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh pihak Belanda, maka
kekuatan pasukan Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan
Mahmuh Syah. Dengan dikuasainya Masjid Raya Aceh oleh pihak Belanda,
banyak mengundang para tokoh dan rakyat untuk bergabung berjuang melawan
Belanda. Tampilah tokoh-tokoh seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng
Bata, Cut Banta, Teungku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan isterinya Cut Nyak
Dien. Serdadu Belanda kemudian bergerak untuk menyerang istana
kesultanan, dan terjadilah pertempuran di istana kesultanan. Dengan
kekuatan yang besar dan semangat jihad, para pejuang Aceh mampu
bertahan, sehingga Belanda gagal untuk menduduki istana.
Pada akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi
secara besar-besaran di bawah pimpinan Letnan Jenderal J. Van Swieten
dengan kekutan 8.000 orang tentara. Pertempuran seru berkobar lagi pada
awal tahun 1874 yang akhirnya Belanda berhasil menduduki istana
kesultanan. Sultan beserta para tokoh pejuang yang lain meninggalkan
istana dan terus melakukan perlawanan di luar kota. Pada tanggal 28
Januari 1874, Sultan Mahmud Syah meninggal, kemudian digantikan oleh
putranya yakni
Muhammad Daud Syah. Sementara itu, ketika utusan Aceh yang dikirim ke
Turki, yaitu Habib Abdurrachman tiba kembali di Aceh tahun 1879 maka
kegiatan penyerangan ke pos-pos Belanda diperhebat. Habib Adurrachman
bersama Teuku Cik Di Tiro dan Imam Lueng Bata mengatur taktik
penyerangan guna mengacaukan dan memperlemah pos-pos Belanda.
Menyadari betapa sulitnya mematahkan perlawanan rakyat Aceh, pihak
Belanda berusaha mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama yang
menyangkut kehidupan sosial-budayanya. Oleh karena itu, pemerintah
Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronye (seorang ahli tentang Islam) untuk
meneliti soal sosial budaya masyarakat Aceh. Dengan menyamar sebagai
seorang ulama dengan nama Abdul Gafar, ia berhasil masuk Aceh.
Hasil penelitiannya dibukukan dengan judul De Atjehers (Orang Aceh).
Dari hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa sultan tidak mempunyai
kekuatan tanpa persetujuan para kepala di bawahnya dan ulama mempunyai
pengaruh yang sangat besar di kalangan rakyat. Dengan demikian langkah
yang ditempuh oleh Belanda ialah melakukan politik “de vide et impera (
memecah belah dan menguasai). Cara yang ditempuh kaum ulama yang melawan
harus dihadapi dengan kekerasan senjata; kaum bangsawan dan keluarganya
diberi kesempatan untuk masuk korps pamong praja di lingkungan
pemerintahan kolonial.
Belanda mulai memikat hati para bangsawan Aceh untuk memihak kepada
Belanda. Pada bulan Agustus 1893, Teuku Umar menyatakan tunduk kepada
pemerintah Belanda dan kemudian diangkat menjadi panglima militer
Belanda. Teuku Umar memimpin 250 orang pasukan dengan persenjataan
lengkap, namun kemudian bersekutu dengan Panglima Polim menghantam
Belanda. Tentara Belanda di bawah pimpinan J.B. Van Heutz berhasil
memukul perlawanan Teuku Umar dan Panglima Polim. Teuku Umar menyingkir
ke Aceh Barat dan Panglima Polim menyingkir ke Aceh Timur. Dalam
pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur.
Sementara itu, Panglima Polim dan Sultan Muhammad Daud Syah, masih
melakukan perlawanan di Aceh Timur. Belanda berusaha melakukan
penangkapan. Pada tanggal 6 September 1903 Panglima Polim beserta 150
orang parjuritnya menyerah setelah Belanda melakukan penangkapan
terhadap keluarganya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap Sultan
Muhammad Daud Syah. Pada tahun 1904, Sultan Aceh dipaksa untuk
menan-datangani Plakat Pendek yang isinya sebagai berikut.
1)Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
2)Aceh tidak diperbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain dengan belanda.
3)Aceh menaati perintah dan peraturan Belanda.
Dengan ini, berarti sejak 1904 Aceh telah berada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda.
0 komentar:
Posting Komentar